Cursor Keris
Get Gifs at CodemySpace.com

04 Agustus, 2011

Istri-Istri Rasulullah SAW

1. Khadijah binti Khuwailid
Khadijah adalah seorang wanita yang begitu percaya diri. Sikap pada dirinya ini bisa terlihat dari keyakinannya untuk memberikan kepercayaan kepada Rasulullah saw. sebagai juru niaganya di wilayah Syam. Keyakinannya itu berawal dari kejeliannya melihat suatu perkara dan ketelitiannya memilih orang yang tepat untuk menjalankan amanah perniagaannya, hingga ia tak sungkan membayar lebih dari biasanya. Sikap PD-nya juga terlihat, saat ia menawarkan dirinya kepada Rasulullah saw. untuk dilamar dan dinikahinya meski saat itu Khadijah bukanlah seorang gadis remaja, melainkan seorang janda yang sudah berusia 40 tahun. Khadijah meyakini sepenuhnya, bahwa sebagai seorang wanita yang digelari Ath Thahirah (wanita yang suci), ia sungguh layak untuk mendampingi seorang laki-laki yang bergelar Al Amin (yang terpercaya).
Khadijah adalah seorang saudagar kaya yang dermawan. Ia membelanjakan seluruh hartanya di jalan Allah untuk mendukung sepenuhnya perjuangan dakwah Rasulullah saw. Bahkan, ia pun menghadiahi suaminya itu dengan beberapa orang hamba sahaya, salah satunya adalah Zaid bin Haritsah r.a. yang kemudian diangkat anak.



Khadijah adalah seorang mustaqimin (orang yang istiqamah di jalan kebenaran). Sejak mengenal pribadi mulia Rasulullah saw. yang amanah, jujur, dan tidak pernah berkhianat, Khadijah selalu mempercayai apa pun yang dikatakan dan dilakukan suaminya itu. Termasuk ketika Rasulullah saw. mengajaknya untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ia rela meninggalkan semua kesenangan dan harta dunia demi mengikuti suami tercinta di jalan Islam. Khadijah ridha tinggal di lembah-lembah sempit saat masa pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib oleh Musyrikin Quraisy.
Khadijah adalah seorang isteri yang menjadi shahibah (sahabat) tercinta bagi suaminya. Ia bukan sekadar partner dalam rumah tangga Rasulullah saw., tetapi selalu menjadi orang yang pertama kali mendengar keluhannya sekaligus orang pertama yang menghibur hatinya. Lihatlah bagaimana ia dengan sigap menenangkan dan menyelimuti Rasulullah saw. saat datangnya wahyu pertama.
“Demi Allah, Allah Swt. tidak memberikan seorang pengganti yang lebih baik daripada Khadijah, ia telah beriman kepadaku pada saat orang-orang mengingkariku, membenarkan ajaran yang aku emban disaat orang-orang mendustakanku, membantuku dengan menginfakkan segenap hartanya disaat semua orang tidak mau, dan Allah telah mengaruniaku beberapa orang anak dari rahimnya yang tidak diberikan oleh isteri-isteri lainnya,” ujar Rasulullah saw. tentang isteri pertamanya itu.
“Sebaik-baik wanita di langit dan di bumi ialah Maryam puteri Imran, dan sebaik-baik wanita di langit dan di bumi ialah Khadijah.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan At Tirmidzi)

2. Saudah binti Zam’ah
Saudah adalah seorang wanita yang qana’ah (menerima apa adanya). Ketika ia menjanda setelah ditinggal wafat suami pertamanya, Sakran bin Amr, Saudah berusaha keras mengasuh, menjaga, dan mendidik keenam orang anak-anaknya. Secara telaten dan cekatan, ia membesarkan keenam orang anaknya untuk hidup sesuai dengan aturan Islam sebagaimana keyakinan dan keimanannya sebagai seorang Muslimah. Lihat bagaimana ia merasa ragu menerima lamaran Rasulullah saw. karena khawatir anak-anaknya yang banyak itu mengganggu waktu dan aktivitas Rasulullah saw.
Saudah adalah wanita pertama pilihan Rasulullah saw. setelah ditinggal oleh Khadijah. Ia adalah seorang Muslimah yang sudah “berpengalaman” sebagai isteri dan ibu dalam membina sebuah keluarga. Apalagi, saat itu Rasulullah saw. telah dikaruniai empat orang anak perempuan (yang masih hidup) dari Khadijah, yaitu Zainab, Ruqqayah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Rasulullah saw. sungguh percaya atas kepemimpinan Saudah sebagai ibu bagi anak-anak perempuannya itu. Terbukti, melalui kepemimpinan Saudah sebagai ibu, anak-anak Rasulullah dibesarkan dengan hasil yang membanggakan umatnya. Meski lugu, Saudah pun bisa menyenangkan Rasulullah saw. hingga gigi-gigi putihnya kelihatan kendati tubuhnya berwarna gelap dan gemuk. Rasulullah pernah tersenyum saat melihat dirinya berjalan melenggang berayun ke kiri dan ke kanan karena tubuh gemuknya digelayuti anak-anaknya yang masih kecil, atau karena kerajinannya dalam bekerja. Ya, ia juga termasuk tipe isteri yang sangat rajin mengurusi rumah tangganya.
Saudah adalah wanita yang penuh dengan keikhlasan. Ia memberikan “jatah” waktu gilirannya dari Rasulullah saw. untuk isteri yang paling dicintai suaminya itu, Aisyah binti Abu Bakar r.a. demi memperoleh keridhaan suaminya sekaligus keridhaan Allah Swt.
Saudah sangat memahami sabda Rasulullah saw. bahwa keridhaan Allah Swt. terletak pada keridhaan suaminya. Ia pun sangat memahami sabda Rasulullah saw. lainnya yang menyatakan bahwa keridhaan seorang suami akan mengantar seorang isteri masuk syurga dari arah pintu manapun yang ia inginkan. Saudah adalah seorang isteri yang meyakini anugerah Allah Swt. bahwa para isteri Rasulullah saw. di dunia adalah isteri-isterinya juga di syurga. Aisyah sendiri pun senantiasa mengingatnya dan selalu terkesan dengan kebaikan Saudah, atas seluruh keikhlasannya itu.
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya untuk Saudah binti Zam’ah, sesungguhnya wanita terbaik adalah wanita yang menunggang unta yang lemah, wanita Quraisy yang saleh yang paling kasih kepada anak-anaknya disaat mereka masih kecil, dan paling tekun merawat suaminya dengan tangannya sendiri.” (Al Hadits)

3. Aisyah binti Abu Bakar r.a.
     Aisyah adalah isteri yang paling dicintai Rasulullah saw. Bahkan, Rasul menyatakan bahwa rasa cintanya kepada Aisyah bagaikan simpul tali yang saling mengikat dengan sangat erat.
    Aisyah adalah seorang isteri yang memilik sikap quwwah (keteguhan jiwa) dalam kebenaran. Aisyah tetap dalam keyakinannya bahwa ia ada dalam kebenaran, ketika masyarakat mempertanyakan tentang kesuciannya setelah kepulangannya dari Perang Bani Musthaliq. Bahkan, berita bohong itu pun sempat menggoyahkan kepercayaan Rasulullah saw. kepadanya. Aisyah hanya bersaksi, “Demi Allah, aku tidak bertaubat kepada Allah selamanya dari apa yang Rasul katakan. Demi Allah, sesungguhnya aku tahu jika aku mengakui sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang, sedang Allah tahu bahwa aku bersih dari (perbuatan itu), maka sungguh aku telah mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Dan, jika aku mengingkari apa yang mereka katakan, mereka pasti tidak akan mempercayai dan tidak akan membenarkanku. Tetapi, aku akan mengatakan apa yang pernah dikatakan oleh Ya’kub a.s., ‘Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongannya terhadap apa yang kalian ceritakan.’ (Q.S. Yusuf, 12: 18).” Dengan kesabaran yang tinggi pada diri Aisyah, Allah Swt. membenarkan kesucian Aisyah sebagai wanita mulia.
     Aisyah adalah seorang isteri yang supercerdas. Bahkan, isteri ketiga Rasulullah saw. ini pun telah hafal Al Quran sejak usia muda. Para perawi hadits, menyebutkan bahwa Aisyah adalah orang ketiga terbanyak setelah Abu Hurairah r.a. dan Anas bin Malik r.a. yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw., terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum tentang permasalahan wanita dan rumah tangga. Inilah bukti yang mampu menjungkirbalikkan argumentasi para orientalis, feminis, ataupun orang-orang yang benci Islam dan suka mendiskreditkan pernikahan Rasulullah saw. dengan Aisyah, bahwa pernikahan itu hanya dorongan syahwat belaka. Padahal, sesungguhnya pernikahan mulia itu ditujukan untuk memberikan keteladanan bagi Kaum Muslim, khususnya bagi para Muslimah, yaitu masalah tarbiyah islamiyah (pendidikan Islam) dalam keluarga dan rumah tangga. Aisyah memang satu-satunya wanita yang masih gadis ketika dinikahi Rasulullah saw. Aisyah memasuki rumah tangga Rasulullah saw. dengan jiwa yang putih bersih laksana secarik kertas baru. Kepribadian Rasulullah saw. yang mutamayiz (istimewa) sanggup membentuk hati dan rohaninya. Fakta membuktikan bahwa Aisyah menjadi sosok wanita teladan sepanjang masa dalam masalah pendidikan, ilmu, dan kecerdasan. Aisyah memilih peran sebagai “isteri pembelajar” itu sebaik-baiknya untuk menyempurnakan pendidikannya, menjadi wanita luhur dan bertakwa.
     Aisyah dikenal juga sebagai isteri Rasul yang pecemburu. Tetapi, kecemburuan Aisyah ini adalah rasa cemburu yang masih dibenarkan oleh syara’ dalam arti cemburu yang syar’i. Bukankah cemburu itu menandakan bahwa seorang isteri mencintai suaminya, dan ia pun merasa tidak mau rasa cintanya dikalahkan oleh para madunya yang lain? Selama kecemburuan itu sesuai dengan proporsinya dan tidak berlebih-lebihan, maka rasa cemburu ini bisa dipahami sebagai romantika kehidupan suami-isteri, dan Islam pun membenarkan cemburu yang seperti ini. Aisyah pernah cemburu pada Khadijah kendati ia telah tiada. Aisyah pernah cemburu pada Ummu Salamah yang diketahuinya berwajah cantik kendati ia sudah berusia lanjut. Sekalipun Aisyah adalah seorang isteri pecemburu, ia tidak pernah mengungkapkan kecemburuannya kepada ummul mukminin lain yang dicemburuinya itu, tetapi ia biasanya langsung menumpahkannya kepada Rasulullah saw. atau kadang sekali-kali kepada Hafshah binti Umar r.a. yang paling dekat di antara para isteri Rasulullah saw.
     “Engkau adalah isteri yang paling dicintai Rasulullah saw., dan beliau tidak akan mencintai sesuatu kecuali yang baik,” ujar Ibnu Abbas kepada Aisyah. Di waktu lain ia pun mengatakan, “Allah Swt. telah menurunkan wahyu tentang kesucianmu dari atas lapis langit yang ketujuh, maka tidak ada satu masjid pun yang disebutkan nama Allah di dalamnya, kecuali kesucianmu akan dibacakan di dalamnya sepanjang malam dan siang.” Iman Az Zuhri berkata, “Seandainya ilmu Aisyah dikumpulkan dengan ilmu dari seluruh Ummahatul Mukminin, dan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih utama.”


4. Hafshah binti Umar r.a.
     Hafshah memiliki karakter keras, kuat pendirian, dan sikap yang tegas. Ia mewarisi karakter ayahnya, Umar bin Khaththab r.a. Sesungguhnya, karakter seperti ini tidaklah negatif, tetapi bergantung pada apa yang mendasari karakter tersebut dan karakter itu dipakainya untuk apa dan siapa? Ia tidak segan untuk mendebat Rasulullah saw. sekiranya dalam pandangan Hafshah, ada pernyataan beliau yang tidak sesuai dengan apa yang dipahaminya. Hafshah memang seorang ahli menulis yang faqih dan kritis. Mungkin karena itulah, ia selalu mengungkapkan pendapatnya langsung di hadapan Rasulullah saw.
     Hafshah adalah seorang isteri Rasulullah saw. yang suka bersaing dengan Aisyah dalam menempati posisi di hati beliau. Tetapi, harus diingat bahwa persaingan ini adalah persaingan yang sehat. Mereka bersaing layaknya ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) untuk meraih kecintaan dan keridhaan suaminya. Hafshah memang merasa bahwa ia mampu untuk bersaing dengan Aisyah karena ia adalah seorang wanita muda, berparas cantik, bertaqwa, dan wanita yang disegani. Ayahnya pun adalah sosok yang sangat disegani Kaum Muslim.
     Hafshah binti Umar juga dikenal cukup kritis dan suka memberi nasihat. Pernah suatu hari, Aisyah mengadukan kecemburuannya tentang pernikahan Rasulullah saw. dengan Ummu Salamah kepada Hafshah. Hafshah pun mencemburui pernikahan Rasul itu, tetapi ia masih bisa memendamnya di dalam hati. Saat menanggapi kecemburuan Aisyah itu, Hafshah bertanya lebih lanjut, sesungguhnya apa yang dicemburui oleh Aisyah? Ternyata, Aisyah mencumburui kecantikan Ummu Salamah, sehingga ia khawatir Ummu Salamah akan menjadi saingannya menduduki tempat istimewa di hati Rasulullah saw. Mendengar kekhawatiran madunya itu, Hafshah hanya tersenyum, dan secara bijak ia menasihati Aisyah, bahwa kekhawatirannya itu tidak beralasan karena Rasulullah saw. menikahi Ummu Salamah yang sudah memasuki usia lanjut, sehingga kecantikannya itu akan segera memudar. Aisyah pun membenarkan nasihat Hafshah itu hingga ia merasa tenang dan tidak perlu mencemburui Ummu Salamah.
     Hafshah adalah seseorang yang sangat amanah dalam menjaga mushaf Al Qur’an yang dititipkan kepadanya. Ia dikenal hafizh (hafal) Qur’an ketika Rasulullah saw. masih ada. Ia pun rajin membaca dan mengamalkannya, terutama amalan shaum dan shalat. Sehingga tidak mengherankan, Hafshah-lah, di antara isteri-isteri Rasul yang diberikan amanah dan tanggung jawab untuk menyimpan mushaf Al Qur’an hingga akhir hayatnya.
     Isteri keempat Rasulullah saw. ini adalah wanita yang disebut Jibril a.s. sebagai Shawwamah wa Qawwamah (Wanita yang rajin shaum dan shalat) dan Hafshah juga disebut Jibril sebagai salah satu isteri Rasulullah saw. di surga.

5. Zainab binti Khuzaimah
     Zainab adalah orang yang penyayang. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Zainab adalah seorang wanita yang penyayang. Terlebih lagi kepada kalangan mustadh’afin atau kaum dhuafa (kaum lemah dan papa). Ia adalah orang yang penyantun dan rajin bersedekah. Ia merupakan Ummul Mukminin yang diberikan gelar kemuliaan sebagai Ummul Masakin atau “Ibunda Orang-orang Miskin” karena ia dikenal sebagai isteri Rasulullah saw. yang paling sayang kepada orang-orang miskin, dan bersikap sangat baik kepada mereka. Zainab binti Khuzaimah r.a. suka memberi makan dan bersedekah kepada mereka.
     Zainab adalah seorang wanita yang penyabar. Mau tahu buktinya? Sebagai seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya pada Perang Uhud, Zainab juga merasakan kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Tetapi rasa kehilangan dan kesedihannya itu tidak membuat ia meratap, menyesali nasib hidupnya, ataupun menyumpahi suratan takdir yang memisahkan dirinya dengan suami tercinta. Zainab tetap bersabar menerima apapun keputusan Allah atas diri dan suaminya. Dan kesabaran itu pada akhirnya membawa Zainab menjadi isteri kelima Rasulullah saw., menjadi seorang ummul mukminin yang meninggal saat Rasulullah saw. masih hidup dan dishalatkan oleh beliau.
     Zainab selain dikenal sebagai wanita yang welas asih, ia juga dikenal sebagai isteri Rasulullah saw. yang senang meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Atha’ bin Yasir yang mengisahkan, bahwa Zainab mempunyai seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat.
     Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah r.a. dengan sabdanya, “Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka.” (Al Ishabah)

6. Hindun binti Abu Umayyah
     Hindun atau lebih dikenal dengan sebutan Ummu Salamah adalah seorang wanita mukhlisin (orang yang ikhlas). Ia tercatat sebagai wanita Mukminah yang bersedia melaksanakan perintah hijrah dari Allah dan Rasul-Nya kepada Kaum Muslim. Dengan penuh keikhlasan ia menempuh medan berat dua kali perjalanan hijrah, baik dari Makkah ke Habasyah, ataupun dari Makkah ke Yatsrib (Madinah).
     Sikap wara’ (berhati-hati) menjadi salah satu dari keistimewaan Ummu Salamah juga. Ia tidak sembarangan berbuat sesuatu ataupun serampangan menentukan pilihan. Ia selalu berpikir mendalam terlebih dahulu sebelum menjatuhkan keputusan, mana yang akan ia lakukan, dan mana yang akan ia pilih? Mana yang akan didahulukan, dan mana yang akan ditangguhkan pengerjaannya? Demikian pula, dalam menentukan siapa kiranya yang akan menjadi pendamping hidupnya sepeninggal Abu Salamah yang telah diakui memiliki kesalehan dan kedudukan istimewa di tengah Kaum Muslim. Ummu Salamah kerap menolak pinangan dari para sahabat Rasul yang datang dengan maksud untuk menikahinya. Bahkan, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dan Umar bin Khaththab r.a. sekalipun, dua orang sahabat mulia dan terkemuka yang datang melamarnya pun, Ummu Salamah tidak berkenan untuk menerima pinangan mereka. Termasuk ketika Rasulullah saw. datang melamarnya, Ummu Salamah tidak lantas menerima pinangan manusia paling mulia dari seluruh makhluk yang ada di bumi ini. Ia masih coba untuk menghindar pinangan istimewa itu dengan menyatakan “keberatan-keberatannya” yang jadi tabi’ah (karakter) seorang wanita yang menjanda. Ummu Salamah berkata, “Aku adalah wanita yang sudah tua, aku pun seorang janda yang memiliki banyak anak yatim, dan aku pun seorang wanita pencemburu.”
     Ummu Salamah r.a. adalah orang yang sangat percaya akan janji Allah Swt. Ia adalah seorang Muslimah yang sungguh percaya akan kekuatan dahsyatnya doa yang dipanjatkan kepada Allah Swt. Setelah suami pertamanya wafat, Ummu Salamah selalu berdoa yang pernah dicontohkan suaminya, Abu Salamah kepadanya. Ia berdoa, “Ya Allah, gantilah aku dengan yang lebih baik darinya.” Allah Swt. mendengar doanya dan mengabulkannya. Allah mengganti Abu Salamah dengan lelaki terbaik untuk Ummu Salamah, yaitu Rasulullah saw. yang berkenan untuk menikahi Ummu Salamah sebagai isterinya yang keenam.
     Ummu Salamah r.a. adalah seorang wanita yang bijak sekaligus tegas dalam menyampaikan saran dan pendapat. Hal ini karena ia selalu berpikir mendalam tentang berbagai persoalan. Ummu Salamah mampu untuk memetakan masalah yang sedang dihadapi, dan secara bijak mengambil pilihan cerdas untuk mengatasi masalah tersebut. Terbukti, ketika Ummu Salamah menyarankan suaminya, Rasulullah saw. untuk memberikan keteladanan kepada para sahabatnya dengan menjalankan apa-apa yang telah diperintahkan Nabi Muhammad saw. kepada mereka. Padahal, saat itu para sahabat sedang berpaling dari Rasulullah saw. karena tidak sependapat dengan beliau dalam perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. menjalankan saran bijak dari Ummu Salamah dengan berdiam diri dari para sahabatnya, dan beliau pun langsung memberikan contoh kepada mereka dengan menjadi orang pertama yang menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Para sahabat pun menyadari kesalahannya, dan mereka berlomba menjalankan perintah Rasulullah saw. yang sebelumnya mereka abaikan. Saran bijak Ummu Salamah yang langsung dipraktikkan Rasulullah saw. telah menyelamatkan para sahabat dari murka Allah.
     Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan bahwa Ummu Salamah adalah ahlul bait-nya (anggota keluarga dan keturunannya). Selain itu, Rasulullah saw. pun memuliakannya dengan biasa mengunjunginya pertama kali sehabis beliau menunaikan Shalat Ashar, sebelum mengunjungi isteri-isterinya yang lain.

7. Zainab binti Jahsy
     Zainab adalah seorang wanita pemurah dan dermawan. Rasulullah saw. pun memuliakannya dengan mengatakannya sebagai isteri yang “panjang tangannya”. Ia pun dikenal sebagai penolong anak-anak yatim, dan tempat berlindung para janda miskin. Zainab pun dikenal rajin bekerja, mengumpulkan upahnya sebagai harta yang halal, lalu membelanjakannya di jalan Allah Swt. untuk meringankan beban hidup anak-anak yatim, janda-janda miskin, dan orang-orang yang lebih membutuhkan.
     Zainab adalah orang yang sangat percaya akan kuasa Allah Swt. atas makhluk-makhluk-Nya. Ia pun seorang Muslimah yang mengakui kenabian Muhammad sebagai utusan-Nya. Sebagai hamba-Nya yang dhaif (lemah) dan sebagai umat Rasulullah saw. yang taat. Zainab bersedia untuk menerima Zaid bin Haritsah sebagai suaminya, padahal sebelumnya ia sama sekali tidak berkenan untuk menikah dengannya. Setelah perceraiannya dengan Zaid, ia pun dipinang oleh Rasulullah saw., tetapi, Zainab tidak langsung mengiyakannya, ia hanya menjawab, “Aku tidak akan melakukan sesuatu sebelum meminta petunjuk kepada Allah”. Lalu, Zainab pun melaksanakan shalat istikharah. Baru, setelah ia mendengar kabar turunnya Q.S. Al-Ahzab, 37, hatinya semakin mantap menerima pinangan Rasulullah saw. Bahkan, ketika Rasul menemuinya secara mendadak, dan mengatakan kepada Zainab, bahwa Allah Swt. telah menikahkan mereka dari atas langit. Zainab hanya menanyakan siapa yang menjadi saksi atas pernikahannya itu? Ia pun menerima sepenuhnya, setelah Rasul meyakinkannya bahwa saksi pernikahan mereka adalah Ruhul ‘Amin (Malaikat Jibril ).
     Zainab adalah isteri ketujuh Rasulullah saw. yang membanggakan pernikahannya dengan beliau karena mereka dinikahkan langsung oleh Allah Swt. dari atas langit, dengan saksi Malaikat Jibril. Oleh karenanya, ia sangat menjaga ikatan pernikahannya itu dengan berusaha menjadi isteri terbaik bagi suaminya. Zainab selalu berusaha menyenangkan hati Rasulullah saw. dengan melayani segala kebutuhannya dengan baik. Ia pun berusaha tidak menyinggung hati isteri-isteri Rasulullah saw. lainnya, terutama isteri kesayangannya, yaitu Aisyah binti Abu Bakar r.a.
     Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan kepada isteri-isterinya, bahwa isteri yang paling cepat akan menyusul beliau menemui Rabb-nya adalah isteri yang paling panjang tangannya. Maka, sejak Rasulullah saw. wafat, para isterinya suka membanding-bandingkan panjangnya tangan di antara mereka. Tetapi, justru hadits itu baru terbukti setelah wafatnya Zainab. Mereka baru memahami bahwa “panjang tangan” dalam hadits Rasulullah saw. itu bermakna kiasan, yaitu “yang paling banyak sedekahnya”. Dan, di antara isteri-isteri Rasulullah saw. yang paling rajin shadaqah adalah Zainab binti Jahsy. Hal ini pun diakui oleh Aisyah binti Abu Bakar r.a. yang berkata, “Zainab adalah seorang wanita yang rajin bekerja, ia sering menyamak, mengumpulkan upahnya, lalu menyedekahkannya di jalan Allah Swt.”

8. Juwairiyah binti Al Harits
     Juwairiyah adalah seorang wanita yang fathanah (cerdas). Ia cepat memahami kondisi kaumnya dan keadaan dirinya, setelah kaumnya, Bani Al Musthaliq yang menentang kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw. berhasil dikalahkan oleh Pasukan Islam dalam Perang Muraisi’. Juwairiyah yang merupakan anak dari Al Harits bin Abu Dhirar adalah puteri seorang pemimpin Bani Al Musthaliq. Ia yang dilahirkan dari keluarga terhormat tahu betul bagaimana caranya untuk membebaskan dirinya, sekaligus membebaskan kaumnya dari perbudakan. Dengan kecerdasan yang ia miliki, Juwairiyah langsung menemui pemimpin Kaum Muslim, Rasulullah saw., dan menyampaikan maksud kedatangannya. Rasulullah saw. pun bersedia untuk mengabulkan permintaan Juwairiyah untuk membebaskan dirinya dari Tsabit bin Qais. Bahkan, Rasulullah saw. bersedia untuk mengembalikan kehormatan Juwairiyah dengan menikahinya. Melalui pernikahan inilah, seluruh tawanan Bani Al Musthaliq dibebaskan, dan mereka pun masuk Islam. Bahkan, Al Harits bin Abu Dhirar, ayah Juwairiyah yang datang menemui Rasulullah saw. untuk menebus putrinya pun masuk Islam, setelah menyaksikan bukti bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
     Juwairiyah adalah sosok wanita yang mampu menjaga izzah (kemuliaan)nya sebagai seorang wanita terhormat. Ia adalah seorang wanita terpandang di kaumnya yang memiliki kecerdasan akal dan kecantikan fisik. Oleh karenanya, Juwairiyah merasa tidak pantas men
jadi seorang tawanan, apalagi sampai direndahkan menjadi seorang budak. Ia pun meyakinkan diri tidak pantas dimiliki oleh Tsabit bin Qais yang hanya prajurit biasa. Kalaupun ada manusia yang diberi kesempatan untuk memiliki dirinya, manusia itu bukanlah Tsabit bin Qais, tetapi siapa yang menjadi pemimpin Tsabit dan pemimpin kaumnya (Kaum Muslim), yaitu Rasulullah saw. Kemuliaan sebagai wanita terhormat yang diperlihatkan Juwairiyah saat itu membuat Rasul tidak hanya bersedia membebaskannya, tetapi menawarkan dirinya untuk menikahi Juwairiyah, dan mengembalikan ke-hormatannya di tengah Bani Al Musthaliq, sekaligus menguatkan kemuliaannya di hati Kaum Muslim sebagai ummul mukminin (ibunya orang-orang beriman).
     Juwairiyah juga seorang wanita yang rajin beribadah dan suka belajar. Keimanan Juwairiyah kepada Allah dan Rasul-Nya pun tidak diragukan lagi. Terbukti, ia lebih memilih tinggal bersama Rasulullah saw. dibanding menerima ajakan ayahnya kembali kepada kaumnya. Setelah Juwairiyah memeluk Islam dan menjadi isteri Rasulullah saw., ia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk beribadah kepada Allah Swt., berpuasa dan mengerjakan kebajikan. Bahkan, Rasulullah saw. pun memberi nama kepadanya “Juwairiyah” karena begitu banyak amal kebajikannya bagi keislaman kaumnya, yaitu Bani Al Musthaliq. Juwairiyah pun tidak malu untuk mengakui ketidak tahuannya tentang ajaran Islam, dan berusaha untuk terus belajar memahami Islam, langsung dari “guru utamanya” yaitu suaminya sendiri, Rasulullah saw.
     Dalam salah satu riwayat, Aisyah binti Abu Bakar r.a. pernah berkata tentang keutamaan dan keistimewaan isteri kedelapan Rasulullah saw. ini, “Saya tidak tahu wanita mana yang paling memberikan berkah untuk kaumnya selain dari Juwairiyah binti Al Harits.”

9. Shafiyyah binti Huyay
     Shafiyyah adalah seorang wanita yang memiliki sifat shiddiq (jujur) dalam perkataan dan perbuatannya. Rasulullah saw. membenarkan apa yang telah dikatakan Shafiyyah tentang mimpinya dan luka memar di wajahnya. Rasulullah saw. pun telah membenarkan pengakuan Shafiyyah yang berangan-angan dan menginginkan dirinya dinikahi oleh Rasulullah saw. Bahkan, Rasulullah saw. pun telah bersaksi, membenarkan kejujuran Shafiyyah ketika isteri-isteri Nabi berkumpul menunggui beliau yang sakit menjelang wafatnya.
     Shafiyyah adalah seorang wanita yang pemaaf. Ia selalu memaafkan perlakuan isteri-
isteri Rasulullah saw. yang cemburu kepadanya (karena ia berasal dari keturunan Yahudi yang memiliki kulit putih dan cantik, bukan dari keturunan Arab). Bahkan, ia berusaha mengambil hati mereka dengan membagikan perhiasan miliknya sebagai hadiah untuk para madunya itu. Shafiyyah hanya menangis jika ada perkataan madunya yang menyinggung perasaannya. Ia baru berani membalas setelah Rasulullah saw. meyakinkannya bahwa ia memiliki keutamaan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh para ummul mukminin lainnya. Shafiyyah juga dikenal sangat bijaksana ketika memaafkan seseorang, bahkan saat ia mampu untuk membalasnya. Secara bijak, ia memaafkan, bahkan membebaskan pelayan wanitanya yang telah memfitnahnya di hadapan Khalifah Umar bin Khaththab r.a.
     Shafiyyah juga dikenal sebagai isteri kesembilan Rasulullah saw. yang memiliki pemahaman mendalam dan pengamatan yang sangat teliti. Ia pernah mengingatkan kepada para Muslimah yang berzikir, membaca Al Quran, dan shalat di tempatnya, untuk khusyuk dalam beribadah, dan takut dari (azab)-Nya. Shafiyyah sungguh mengherankan orang-orang yang berzikir mengingat Allah, membaca ayat-ayat-Nya, dan bersujud di hadapan-Nya. Tetapi, tidak sedikit pun bergetar dalam hatinya ketika nama Allah dibacakan?
     Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan tentang keutamaan dan keistimewaan Shafiyyah dibanding dengan isteri-isteri Rasul lainnya, “Sesungguhnya engkau adalah puteri seorang Nabi (keturunan Nabi Harun a.s), pamanmu seorang Nabi (keturunan Nabi Musa a.s.), dan engkau berada di bawah naungan seorang Nabi (Muhammad saw.), Maka, dengan apa lagi engkau akan lebih berbesar hati.” (H.R. Tirmidzi)

10. Ramlah binti Abu Sufyan
     Ramlah atau yang dikenal dengan Ummu Habibah adalah seorang wanita yang memiliki sifat shabirin (sabar) dan tabah dalam menghadapi ujian Allah Swt. Ujian demi ujian yang datang kepadanya, justeru dihadapinya dengan tabah. Baginya, ujian akan semakin meneguhkan keyakinan dan keimanannya di jalan Allah Swt. Ketika keimanannya diusik oleh ayahanda dan keluarganya, yang menginginkan dirinya kembali pada kekafiran, ia tetap teguh mempertahankan keimanannya. Ia tidak menyesali diri berada dalam barisan Kaum Muslim yang dimusuhi Musyrikin Quraisy. Ia tetap sabar menjalaninya dengan penuh keimanan. Demikian pula ketika Ummu Habibah harus berhijrah ke Habasyah, meninggalkan keluarganya jauh dari tanah kelahiran dan kaumnya, ia tetap sabar menjalaninya. Bahkan, ketika suaminya murtad dari ajaran Islam, ia berusaha mengajaknya kembali. Ia pun harus bersabar, ketika suaminya itu tetap pada pendiriannya.
     Ummu Habibah adalah seorang wanita yang selalu bertawakal kepada Allah Swt. dalam aktivitas hidupnya. Ia meyakini bahwa setiap Muslim harus bertawakal kepada Allah Swt., dalam arti selalu menjadikan-Nya sebagai tempat bersandar dalam mencari maslahiyah (kemanfaatan) dan menolak dharariyah (kemadaratan). Ketika suaminya, Ubaidillah bin Jahsy murtad, Ummu Habibah tetap bersabar dan teguh dalam keimanan. Ia bertawakal kepada-Nya, dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah Swt. Termasuk, ketika ia harus berjuang sendirian menghidupi dan membesarkan puterinya, Habibah. Ia tetap bertakwa kepada Allah Swt. dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
     Ummu Habibah juga dikenal sebagai isteri kesepuluh Rasulullah saw. yang ‘asidda’u alal kuffar (keras terhadap orang-orang kafir) dan ‘adillatin alal mu’min (lembut terhadap sesama Mukmin). Kita bisa menyaksikan bagaimana sikap keras (tegas) yang diperlihatkan Ummu Habibah saat Abu Sufyan, pemimpin orang-orang Musyrik Makkah mengunjungi tempat tinggalnya. Bahkan, ia tidak ridha, tikar yang biasa diduduki Rasulullah saw. diduduki oleh orang Musyrik seperti ayahnya. Kemudian, saat Ummu Habibah menjelang wafatnya, ia masih menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama Mukmin dengan mendatangi para ummul mukminin untuk saling memaafkan dan mendoakan di antara mereka.
     Sekalipun Ummu Habibah r.a. bisa bersikap keras dan tegas terhadap orang kafir yang jelas-jelas memusuhi Islam dan Kaum Muslim, tetapi pada dasarnya ia dikenal sebagai seorang wanita yang suka memuliakan tamu, tanpa melihat status sosial tamunya itu. Ia pun tanpa sungkan suka memberi hadiah untuk berbagi kebahagiaan dengan tamunya itu. Hal ini bisa kita lihat dari apa yang pernah dilakukan oleh Ummu Habibah saat ia tinggal di negeri hijrah, Habasyah. Di sana, ia sering berinteraksi dengan kaum wanita Habasyah, khususnya dengan Abrahah, hamba sahaya wanita yang dimiliki Raja Najasy. Ketika Abrahah berkunjung ke tempat kediaman Ummu Habibah, dan meminta izin untuk masuk ke dalam rumahnya, Ummu Habibah pun segera mempersilakannya masuk, dan memperlakukannya dengan baik, sekalipun Abrahah hanyalah seorang jariyah (hamba sahaya wanita). Bahkan, saat Abrahah memberitahu kabar gembira untuk Ummu Habibah kalau Rasulullah saw. ingin meminang Ummu Habibah, ia pun segera melepaskan dua gelang perak di tangannya dan dua gelang perak di kakinya, beserta cincin-cincin perak di jemari tangannya untuk ia hadiahkan kepada Abrahah.
     Ketika berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah saw. terdengar oleh ayahandanya, Abu Sufyan berkata, “Dia adalah hewan jantan yang tidak terpotong hidungnya.” Maksudnya bahwa Rasulullah saw. adalah pasangan yang mulia tidak tercela dan tiada berbanding. Dari pernyataan Abu Sufyan ini tersirat pengakuan bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang sangat pantas untuk menjadi suami puterinya, Ummu Habibah, karena puterinya itu juga adalah sosok yang istimewa dalam berpegang teguh pada keimanan dan pilihan hidupnya.

11. Maimunah binti Al Harits
     Maimunah adalah seorang wanita yang memiliki sikap jaddiyyah (serius, bersungguh-sungguh), ia selalu serius dan bersungguh-sungguh dalam menginginkan sesuatu atau mengerjakan suatu aktivitas. Ia sangat tidak menyukai sikap tulul ‘amal (panjang angan-angan). Sikapnya itu, ia buktikan saat menyatakan keinginannya untuk berislam secara sempurna, Maimunah menginginkan semua orang tahu bahwa ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sejak kedatangan Kaum Muslim yang berumrah ke Makkah. Ia pun bersunguh-sungguh ketika menginginkan keislamannya makin paripurna di bawah naungan madrasah nubuwah, Maimunah menyatakan keinginannya menjadi isteri Rasulullah saw.
Dari sikap jaddiyyah Maimunah itu, semua keinginannya bisa terpenuhi, Allah Swt. memudahkan jalannya. Ia dipersunting dan menjadi isteri kesebelas Rasulullah saw. yang diakui oleh Aisyah sebagai ummul mukminin paling bertakwa karena kesungguhannya dalam berIslam.
     Maimunah adalah seorang wanita yang rajin menjalin shilaturrahmi (ikatan persaudaraan). Dalam hal ini, Maimunah memahami betul bagaimana caranya untuk menjadi hamba-Nya yang bertakwa dan jaddiyah (serius) memenuhi keinginannya menjadi hamba-Nya yang disebut Rasulullah saw. sebagai ahlul jannah (ahli surga).
     Maimunah juga dikenal sebagai seorang organisatoris, ia memiliki keterampilan sekaligus keahlian dalam memimpin dan mengatur suatu perkumpulan. Ia telah membentuk satu perkumpulan wanita yang bergerak dalam bidang medis, dan bertugas untuk memberi bantuan kesehatan kepada para pejuang yang cedera dalam peperangan. Saat terjadinya Perang Tabuk pada bulan Rajab tahun 9 Hijriah, ketika Pasukan Kaum Muslim berhadapan dengan Pasukan Romawi. Maimunah berada di garda terdepan bersama para mujahiddin, ia sigap menolong para pejuang yang terluka, dan merawat mereka dengan cekatan. Bahkan, Maimunah memimpin dan mengorganisir Kaum Muslimah berperan aktif merawat para pejuang yang terluka.
     Ketika Aisyah binti Abu Bakar r.a. ditanya tentang pribadi Maimunah binti Al Harits, maka ia menjawab bahwa sesungguhnya Maimunah adalah seorang wanita yang paling bertakwa di antara isteri-isteri Rasulullah saw., dan orang yang paling suka menyambung shilaturahmi (hubungan persaudaraan).

12. Mariyah binti Syam’un Al Qibthiyah
     Mariyah adalah seorang wanita yang memiliki sifat hanif (lurus) sehingga ia mudah menerima kebenaran ajaran Islam. Ketika dalam perjalanan dari Iskandariyah menuju Madinah, Mariyah dan Sirin (sepupunya) menyaksikan bagaimana akhlakul karimah (pribadi mulia) Hathib bin Abu Balta’ah r.a. yang menjadi duta dakwah Rasul kepada Raja Al Muqauqis. Ia sungguh tertarik dengan perlakuan Hathib yang begitu menghormati dan memuliakannya. Sehingga dari perlakuan Hathib yang baik itu, Mariyah berpikir lebih tentang pemimpin Hathib di Madinah, dan ajaran hidup yang diajarkannya kepada Hathib dan para pengikutnya yang lain. Tentunya, pemimpin Hathib dan ajaran hidup yang diajarkannya itu benar-benar luar biasa. Dari interaksi Mariyah dengan Hathib sepanjang perjalanan menuju Madinah itulah, Mariyah bersama Sirin mengikrarkan dua kalimah syahadat di hadapan Hathib bin Abu Balta’ah r.a.
     Mariyah adalah seorang wanita yang memiliki sifat lathif (lembut), hatinya sangat lembut, sehingga ia tidak banyak menuntut sesuatu kepada siapa pun, termasuk ketika Mariyah tinggal di istana Raja Al Muqauqis. Ia berlaku lembut, santun, dan tidak banyak merepotkan tuannya, sehingga Al Muqauqis juga menghormati dan menyayanginya. Demikian pula ketika Mariyah berada dalam naungan Rasulullah saw., ia tidak banyak menuntut. Ia malah selalu ingin membahagiakan Rasulullah saw. dengan apa pun yang bisa ia berikan. Bahkan, ia sangat bahagia melihat Rasulullah saw. begitu senang dengan kelahiran Ibrahim dari rahimnya, melebihi kebahagiaannya sendiri. Baginya, kebahagiaan Rasulullah saw. adalah kebahagiaan terbesarnya.
     Mariyah adalah seorang wanita yang jamilah (cantik). Tetapi kecantikan Mariyah tidak hanya sebatas lahiriah, ia juga memiliki kecantikan batiniah. Artinya, Mariyah memiliki kecantikan luar-dalam. Di luar, ia memang seorang yang cantik dan manis hingga Rasulullah saw. pun langsung menyukainya. Sedangkan di dalamnya, Mariyah memiliki pribadi yang cantik juga. Mariyah adalah seorang wanita yang jujur sebagaimana kesaksian Abdullah bin Abdurrahman, hingga Rasulullah saw. pun langsung mengaguminya.
     Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan tentang kedudukan Mariyah, isteri keduabelasnya itu, dan kaumnya, “Perlakukanlah orang-orang Qibthi dengan baik, karena mereka memiliki tanggungan dan hubungan kekerabatan.” Malik menguraikan sabda Rasulullah saw. tadi, dengan penjelasan, “Hubungan kekerabatan dan keluarga dengan mereka adalah bahwa Ismail bin Ibrahim berasal dari kaum mereka, dan ibu Ibrahim, putra Nabi Muhammad saw., berasal dari kaum mereka.”

13. Raihanah binti Zaid
     Raihanah memiliki wajah dan kepribadian menarik, hingga Rasulullah saw. pun, menyukainya. Raihanah adalah seorang yang qana’ah (selalu merasa cukup dengan apapun yang ada), dia tidak banyak meminta ataupun menuntut kepada Rasulullah saw. Keinginan Raihanah hanyalah ingin berbakti sepenuhnya kepada Rasul, dalam dirinya telah tertanam sikap untuk selalu naafi’un lighairihi (bermanfaat bagi orang lain), khususnya orang terdekat dalam dirinya, yaitu Rasulullah saw.
     Raihanah juga dikisahkan selalu menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Ketika dia masih berstatus isteri dari Al Hakam dari Bani Quraizhah, Raihanah selalu menghormati dan membanggakan suaminya. Dia pun merasa tidak ada lelaki yang mampu menggantikan kedudukan suaminya. Artinya, Raihanah tidak hendak berpaling kepada lelaki lain selain suaminya. Demikian pula, ketika Raihanah diambil oleh Rasulullah saw. sebagai hak miliknya saat penaklukkan Bani Quraizhah oleh Pasukan Islam, dia pun mengikuti apa yang diinginkan Rasulullah saw. atas dirinya. Saat Rasulullah saw. menawarinya untuk memeluk Islam, membebaskan, dan memperisterinya. Raihanah menjawabnya dengan pasti, dia menghindari perkara ataupun perkataan yang samar (ba’iidun ’anisy syubuhat). Raihanah bersedia untuk memeluk Islam, dibebaskan oleh Rasulullah saw. dan dinikahinya. Selama hidup bersama Rasulullah saw. pun, isteri ketigabelasnya ini tetap bersikap gaddhul bashar wahifdzul hurumat (selalu menundukan pandangan dan memelihara kehormatan). Raihanah bersedia untuk diperlakukan sama seperti isteri-isteri Rasulullah saw. lainnya, yaitu memenuhi kewajiban memasang hijab atas dirinya.
     Dalam salah satu yang diriwayatkan Shaleh bin Ja’far mengabarkan dari Muhammad bin Kaab, “Raihanah termasuk yang Allah bebaskan. Dia adalah wanita cantik dan menawan. Ketika suaminya terbunuh, dia berada dalam tawanan. Dia menjadi bagian Rasulullah pada hari penaklukkan Bani Quraizhah.” Dalam hadits lain yang diriwayatkan Muhammad bin Ka’ab juga, dikatakan, “Rasulullah saw. memberi Raihanah pilihan antara Islam dengan agamanya, dan dia memilih Islam. Maka Rasul membebaskannya dan menikahinya, lalu memasangkan tabir untuknya.”


Semoga Bermanfaat ……….!








Tidak ada komentar:

Posting Komentar